Classroom
Management
by: Sutirman
by: Sutirman
A. Guru Sebagai
Pemimpin
Guru adalah pemimpin dalam kelas.
Kemampuan seorang guru dalam mengorganisasi kelas dan mengendalikan perilaku
siswa merupakan suatu hal yang sangat penting untuk menghasilkan output
guruan yang berkualitas. Seorang guru harus memiliki jiwa kepemimpinan yang
baik agar dapat mengelola kelas secara efektif. Raven dalam Borich mengemukakan
lima tipe kekuatan sosial atau kepemimpinan yang mungkin dimiliki oleh guru,
yaitu expert power, referent power, legitimate power, reward power, dan coercive
power.
1. Expert
power
Expert power adalah kekuatan seseorang sebagai pemimpin yang bersumber
atau disebabkan oleh kompetensinya atau keahliannya dalam melaksanakan tugas.
Siswa akan merasa segan terhadap guru yang memiliki keahlian tinggi dalam
mengajar. Keahlian yang dimaksud dapat berupa keahlian dalam aspek pedagogis
maupun profesional. Oleh karena itu, seorang guru yang profesional adalah guru
yang memiliki expert power, yaitu yang menguasai kompetensi secara
maksimal.
2. Referent
power
Referent power adalah kekuatan kepemimpinan seseorang yang bersumber dari
kepribadiannya, yaitu pribadi yang dapat dipercaya, perduli terhadap siswa,
bersikap obyektif, dan demokratis. Siswa akan berani dan terbuka untuk
mengemukakan pendapat atau mencurahkan permasalahannya kepada guru yang
memiliki referent power. Dengan tipe kepemimpinan yang seperti itu, guru
akan dapat membangun keberanian, keterbukaan, dan kepercayaan diri siswa,
sehingga siswa akan belajar secara lebih efektif.
3.
Legitimate power
Legitimate power merupakan kekuatan pemimpin yang disebabkan oleh adanya
pengakuan formal dari pihak yang berwenang. Seorang guru memiliki legitimate
power karena memiliki ijazah sarjana guruan, mempunyai surat keputusan
pengangkatan sebagai guru, atau karena telah lulus sertifikasi guru. Legitimate
power merupakan prasyarat untuk dapat menjadi seorang guru. Legitimate
power biasanya tidak begitu diperdulikan oleh siswa, karena tidak serta
merta memiliki expert power maupun referent power.
4. Reward
power
Reward power adalah kekuatan seorang pemimpin yang disebabkan oleh
kemampuan atau kebiasaannya memberikan penghargaan kepada orang lain. Guru yang
mau memberikan penghargaan kepada siswa, baik penghargaan dalam bentuk fisik
maupun non fisik berarti dia memiliki reward power. Meskipun tidak
seperti expert power dan referent power, reward power
dapat berdampak positif terhadap semangat belajar siswa. Pemberian penghargaan
oleh guru kepada siswa atas prestasi yang dicapai merupakan bentuk penguatan
sehingga siswa lebih semangat dan percaya diri dalam belajar.
5. Coercive
power
Coercive power merupakan tipe kepemimpinan yang menggunakan kekerasan
dalam mengendalikan anggotanya. Guru yang memiliki tipe coercive power
biasanya suka memberi hukuman fisik kepada siswa atas pelanggaran yang sepele.
Misalnya siswa yang datang terlambat disuruh pulang tidak boleh mengikuti
pelajaran, atau siswa yang tidak mengerjakan tugas dihukum berdiri di depan
kelas sampai pelajaran berakhir. Penggunakan coercive power dalam
pembelajaran di kelas oleh guru sering tidak membawa manfaat positif bagi
perkembangan prestasi siswa. Bahkan dimungkinkan dapat menjadi kontra produktif
dalam mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, apabila terpaksa guru
harus memberikan hukuman kepada siswa, maka hukuman yang diberikan harus yang
bersifat mendidik.
B.
Pentingnya Manajemen Kelas
Manajemen dalam konsep umum adalah
aktivitas merencanakan, mengorganisasi, menggerakkan, dan mengendalikan.
Demikian halnya dengan pembelajaran dalam kelas, diperlukan pula perencanaan,
pengorganisasian, penggerakkan, dan pengendalian terhadap siswa dan lingkungan
belajarnya. Kim Gulbrandson merangkum beberapa pendapat yang menyatakan
bahwa manajemen kelas merupakan salah satu variabel penting yang dapat
menfasilitasi siswa untuk melakukan kegiatan akademik di kelas. Guru yang
efektif mengelola kelas dapat meningkatkan kesempatan siswa untuk belajar
secara lebih baik (2008). Tanpa manajemen kelas yang efektif siswa akan sulit
mencapai prestasi yang maksimal. Dengan demikian yang dimaksud dengan manajemen
kelas adalah proses mengelola kelas mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
penggerakkan, sampai dengan pengendalian siswa dan lingkungan belajarnya agar
siswa dapat mencapai hasil belajar yang maksimal.
Kemampuan seorang guru dalam
mengorganisasi kelas dan mengelola perilaku siswa merupakan suatu hal yang
sangat penting (Oliver & Rechly, 2007) dalam rangka terwujudnya
pembelajaran yang berkualitas. Ketidakmampuan guru dalam mengelola siswa dan
lingkungan belajarnya di kelas dapat berakibat rendahnya pencapaian hasil
belajar, sehingga capaian prestasi siswa menjadi tidak baik. Agar siswa dapat
belajar dengan baik dan mencapai hasil yang maksimal, guru harus memiliki
kemampuan mengelola kelas secara efektif. Keefektifan guru dalam mengelola
kelas dapat berdampak positif terhadap:
- Iklim pembelajaran yang kondusif
- Efektivitas belajar siswa
- Efektivitas guru dalam mengajar
- Pencapaian hasil belajar yang maksimal.
- Kepuasan belajar siswa
- Kepercayaan diri siswa
Iklim pembelajaran yang kondusif
dapat tercipta apabila guru dapat mengelola kelas secara efektif. Pengelolaan
kelas yang efektif harus dilakukan dengan perencanaan pembelajaran yang matang,
pengorganisasian sumber daya yang tepat, penggerakkan sumber daya secara
konsisten, serta pengendalian perilaku dan lingkungan belajar siswa dengan
cermat. Pembelajaran yang kondusif akan memberi pengaruh positif terhadap siswa
dalam belajar di kelas. Siswa akan dapat memanfaatkan waktu dan berbagai sumber
daya untuk mempelajari materi pelajaran dengan optimal. Pemanfaatan waktu dan
sumber daya pembelajaran secara optimal oleh siswa tentu saja akan menyebabkan
tercapainya prestasi belajar yang maksimal. Dengan demikian, proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru berjalan efektif. Dampak pengiring dari
hal tersebut adalah tumbuhnya kepuasan belajar dan kepercayaan diri siswa.
Kedua hal yang terakhir tersebut dapat menjadi landasan untuk melejitkan
prestasi belajar siswa selanjutnya.
C.
Pengorganisasian Kelas
Keberhasilan mengelola kelas oleh
guru sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam menggunakan social power
untuk mengorganisasikan siswa. Mauer seperti dikutip oleh Borich memaparkan
empat tahap mengorganisasikan kelas yaitu forming, storming, norming, dan
performing (2000:342). Pertama, tahap forming adalah tahap dimana
guru berusaha mendorong tumbuhnya tanggung jawab dan sikap menerima diantara
sesama siswa. Pertanyaan penting untuk diungkapkan pada tahap ini adalah:
1) adakah kegiatan untuk seluruh
siswa agar mereka saling mengenal satu sama lain?;
2) apakah semua siswa memiliki
kesempatan untuk didengar?;
3) apakah para siswa berinteraksi
dengan teman yang bervariasi?;
4) apakah siswa dan guru
saling mendengar satu sama lain?;
5) apakah masalah atau kekhawatiran
mengenai harapan akademik dan perilaku telah diantisipasi?
Pada awal masuk kelas, siswa
biasanya menunjukkan perilaku tertentu untuk mengetahui reaksi yang diberikan
oleh guru atau teman barunya. Putnam and Burke seperti dikutip oleh Borich
memandang penting guru untuk fokus selama beberapa minggu pertama untuk
membantu siswa agar percaya satu sama lain dan merasa sebagai bagian dari kelas
(2000:342). Pada tahap inilah pentingnya kemampuan guru dalam mengorganisasi
dan mengendalikan perilaku siswa mulai dirasakan. Maka jiwa kepemimpinan guru
harus mulai ditunjukkan.
Kedua, tahap storming adalah
tahap dimana guru harus berusaha mengendalikan “badai” atau konflik yang
mungkin muncul di kelas. Tahap ini digambarkan dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti:
1) apakah konflik yang muncul
dibicarakan secara terbuka?;
2) apakah kelas dapat menilai
keberfungsiannya?;
3) apakah gagasan-gagasan baru
dan berbeda didengar dan dievaluasi?;
4) apakah kemampuan semua
siswa digunakan?;
5) apakah semua siswa
mempunyai kesempatan untuk berbagi tanggung jawab dan kepemimpinan?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
di atas merupakan panduan yang harus diperhatikan oleh guru untuk membangun
kelas yang terkendali. Guru harus melibatkan siswa untuk bersama-sama
mengatasi atau memecahkan masalah yang timbul di kelas. Putnam dan Burke
memberi saran agar guru mengajari siswanya bagaimana cara memecahkan masalah
dengan menggunakan panduan berikut:
1.
Problem agreement
Guru meminta seluruh siswa untuk
menyepakati suatu masalah dan mereka bersama-sama akan memecahkan masalah
tersebut.
2.
State the conflict
Guru memberi pernyataan singkat
tentang apa yang dimaksud konflik dan memastikan semua siswa memiliki
kesempatan untuk menyampaikan pandangannya.
3.
Identify and select responses
Guru dan siswa melakukan diskusi dan
mengidentifikasi solusi untuk masalah di atas. Mereka mengkaji konsekuensi
jangka pendek dan jangka panjang dari solusi tersebut. Alternatif solusi yang
memiliki konsekuensi negatif disisihkan.
4.
Create a solution
Dilakukan diskusi kelas dan memilih
satu solusi yang disepakati bersama bahwa solusi tersebut dapat menyelesaikan
konflik.
5.
Design and implement a plan
Dilakukan diskusi kelas untuk
menentukan langkah detil mengenai kapan, dimana, dan bagaimana menyelesaikan
konflik tersebut. Langkah-langkah tersebut selanjutnya dilaksanakan.
6.
Assess the success of the plan
Para siswa mengidentifikasi
informasi yang menjadi faktor-faktor penentu keberhasilan rencana. Guru
mengevaluasi bagaimana kelas bekerja. Setelah masalah dapat diselesaikan,
selanjutnya kelas mendiskusikan nilai-nilai dari proses pemecahan masalah yang
telah dilakukan (Borich, 2000:344).
Ketiga, tahap norming adalah
tahap dimana para siswa saling berbagi harapan mengenai bagaimana mereka harus
berfikir, merasa, dan bertindak. Menurut Zimbardo, “norms” atau dapat dapat
disebut dengan norma merupakan pedoman prinsip bagi perilaku kelompok (Borich,
2000:345). Norma memiliki peran penting dalam mengelola perilaku siswa di
kelas. Menurut psikologi sosial norma memiliki beberapa fungsi, yaitu:
- Mengarahkan anggota kelompok atau siswa untuk memilih interaksi sosial yang tepat dan mengatur interaksi tersebut.
- Membuat identitas dan kesatuan kelompok.
- Mendorong tercapainya prestasi akademik dan hubungan yang baik diantara siswa di kelas.
Terdapat lima pertanyaan penting
yang perlu dijawab untuk menggambarkan tahap norming, yaitu:
1) apakah ada proses untuk
menyelesaikan konflik?;
2) apakah kelompok mampu
menyusun tujuan?;
3) apakah para siswa dapat
mengekpresikan apa yang mereka harapkan?;
4) apakah antara guru dan para
siswa saling menghargai?;
5) apa yang terjadi pada siswa
yang tidak menghargai norma?
Kelima pertanyaan di atas merupakan
panduan untuk mengembangkan tahap norming dalam rangka membangun kelas
yang kondusif. Norma-norma yang dibuat dan disepakati oleh kelas merupakan
pedoman yang harus dihargai dan ditaati oleh seluruh siswa. Apabila semua siswa
memiliki sikap dan penghargaan yang baik terhadap norma kelas, maka proses
pembelajaran di kelas akan berjalan dengan efektif. Efektivitas pembelajaran
dapat terlihat dari tumbuhnya keberanian dan kemandirian siswa dalam belajar.
Keempat, tahap performing
adalah tahap dimana siswa merasa nyaman satu sama lain, mengetahui aturan dan
peran mereka, menerima norma kelompok, dan mereka terbiasa dengan rutinitas
kelas. Sampai pada tahap ini siswa memiliki keberanian untuk menunjukkan bahwa
ia dapat melakukan sesuatu tanpa harus tergantung kepada guru. Seorang guru
hendaknya mendorong kebebasan siswa pada tahap ini dengan mengurangi pengawasan
dan lebih mengajarkan kelompok untuk menyusun prioritas, alokasi waktu, dan
aturan kelompok (Borich, 2000:346).
Keberhasilan tahap performing
dapat dipantau melalui beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1)
apakah kelas dapat mengevaluasi efektivitas mereka?
2)
apakah kelas dan individu siswa dapat memecahkan masalah mereka?
3)
apakah kelas mempunyai kesempatan untuk bekerja secara bebas dan
mengekspresikan diri sesuai pilihan mereka sendiri?
4)
apakah para siswa dapat mengevaluasi diri mereka sendiri dan menentukan tujuan
untuk pengembangan pribadi?
5)
apakah kelas dipersiapkan untuk dibubarkan?
Efektivitas kelas pada tahap performing
dapat dilihat dari kemampuan kelas dan siswa secara individu menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Selain itu, kebebasan dan keberanian siswa dalam
mengekpresikan diri mereka merupakan ukuran penting dalam tahap ini. Situasi
kelas yang telah sampai pada tahap performing harus tetap dipertahankan
agar perose pembelajaran selanjutnya dapat berjalan dengan efektif.
D. Permasalahan
dalam Manajemen Kelas
Tujuan utama dari pengelolaan kelas
yang efektif adalah untuk menjamin para siswa mengikuti proses pembelajaran
secara aktif. Keterlibatan siswa secara aktif dapat berupa berpartisipasi dalam
diskusi kelas, memperhatikan materi yang disajikan, dan melakukan apa yang
ditugaskan oleh guru. Borich menjelaskan empat kegiatan yang harus dilakukan
oleh guru untuk memelihara keaktifan siswa dalam pembelajaran di kelas, yaitu monitoring
students, making transitions, giving assignments, dan bringing closure
(2000:355).
1.
Monitoring
Monitoring adalah proses mengamati,
merekam, dan jika perlu mengoreksi perilaku siswa. Salah satu teknik yang dapat
dilakukan guru untuk memonitor perilaku siswa selama dalam pembelajaran di
kelas adalah dengan kontak mata. Guru harus mengarahkan pandangan pada saat
mengajar di kelas ke seluruh penjuru kelas secara merata secara bergantian.
Siswa yang ada di depan, di belakang, samping kanan, dan samping kiri harus
mendapat perhatian yang sama. Jika guru hanya memperhatikan bagian tertentu
dari kelas, atau siswa tertentu saja, maka pengelolaan kelas pasti tidak akan
efektif. Oleh karena itu, guru sebaiknya sesekali berkeliling kelas, jangan
hanya berdiri atau duduk di depan kelas.
Selain sebagai bentuk pengawasan
terhadap aktivitas dan perilaku siswa, monitoring juga dapat menjadi sarana
untuk membangun komunikasi yang lebih erat dengan siswa. Siswa yang pada
awalnya tidak bersemangat, akan sangat mungkin menjadi lebih semangat dan
serius ketika didatangi dan disapa oleh guru. Demikian pula siswa yang terlalu
agresif di kelas sangat mungkin dapat berubah menjadi lebih lunak setelah
mendapat perhatian dari guru, misalnya dengan cara dipegang pundaknya, atau
cara lain yang tidak melanggar etika.
2.
Making Transitions
Pergantian waktu (jeda) dari
pelajaran satu ke pelajaran yang lain ternyata kadang-kadang menjadi
permasalahan sendiri bagi guru atau sekolah. Persoalan yang sering timbul
adalah adanya siswa yang berteriak-teriak dengan keras di dalam kelas,
terjadinya perkelahian antar siswa, siswa keluar dari lingkungan seolah, atau
siswa terlambat masuk kelas berikutnya. Permasalahan tersebut mungkin dapat
terjadi karena siswa tidak siap untuk mengikuti pelajaran berikutnya dan atau
siswa tidak mempunyai rencana yang jelas untuk memanfaatkan waktu sambil
menunggu pelajaran berikutnya.
Meskipun hal ini mungkin dianggap
sepele oleh kebanyakan guru, tetapi jika tidak diantisipasi dengan baik akan
menimbulkan masalah yang lebih besar. Misalnya terjadinya perkelahian antar
siswa saat istirahat di kelas jika tidak diantisipasi dapat menjadi masalah
yang lebih besar yang melibatkan orang tua siswa atau kelompok siswa lainnya.
Oleh karena itu, sekolah atau wali kelas harus membuat program yang dapat
mengarahkan siswa untuk memanfaatkan jam istirahat dengan kegiatan yang
positif. Idealnya, buatlah program yang mendorong terciptanya kerjasama
diantara siswa.
3.
Giving Assignments
Pada waktu guru memberikan atau
menjelaskan tugas di depan kelas, biasanya juga menimbulkan sedikit gangguan
atau kegaduhan di kelas. Kegaduhan tersebut dapat berupa teriakan, penolakan,
atau pertanyaan yang dilontarkan siswa secara bersama-sama. Biasanya siswa yang
telah mendapat tugas atau pekerjaan rumah yang banyak dari pelajaran lain akan
merasa keberatan dengan tugas yang baru. Demikian pula jika guru memberikan
tugas untuk dikerjakan di kelas, mungkin ada siswa yang tidak menyelesaikan
tugas tersebut sampai dengan selesai. Apalagi jika pada saat diberi tugas di
kelas siswa tidak ditunggu oleh guru pengajarnya, biasanya akan timbul
kegaduhan dan sikap tidak serius sebagian siswa.
Everston dan Emmer sebagaimana
dikutip oleh Borich menyatakan bahwa salah satu perbedaan pengelola kelas yang
efektif dan tidak efektif adalah terlihat pada waktu mereka memberikan tugas
atau pekerjaan rumah (2000:357). Kemampuan mengendalikan siswa pada saat memberikan
tugas dipengaruhi oleh tipe kepemimpinan dan pengalaman yang dimiliki guru.
Namun demikian semua guru dapat mempelajari strategi dan teknik agar dalam
menyampaikan tugas atau pekerjaan rumah kepada siswa tidak menimbulkan masalah.
Salah satu tekniknya adalah dengan memilih waktu yang tepat. Waktu yang tepat
untuk menyampaikan tugas pekerjaan rumah adalah pada akhir pelajaran. Sebaiknya
tugas yang akan diberikan ditampilkan di depan kelas, dijelaskan oleh guru dan
dicermati bersama-sama oleh seluruh siswa. Siswa diberi kesempatan untuk
bertanya setelah guru menyampaikan penjelasannya.
4.
Bringing Closure
Saat menjelang berakhirnya jam
pelajaran kadang-kadang juga timbul masalah berupa kegaduhan kelas jika guru
tidak pandai-pandai merancang strategi pembelajaran sejak awal. Menjelang
beberapa menit pelajaran berakhir seringkali terdapat siswa yang lebih dahulu
menata buku, tas, atau perlengkapan lain sehingga memancing siswa lain untuk
melakukan hal yang sama. Hal tersebut akan membuyarkan konsentrasi belajar
siswa sehingga pelajaran yang telah disampaikan seolah tidak ada maknanya. Guru
harus menyiapkan strategi untuk menutup pelajaran dengan efektif, agar materi
yang telah disampaikan dapat membekas dalam pikiran para siswa. Beberapa cara
yang dapat dilakukan guru dalam mengakhiri pelajaran adalah dengan combining
key points, summarizing or reviewing key content, dan providing a
stucture. Combining key points adalah merumuskan kata-kata kunci
dari materi pelajaran menjadi sebuah kesimpulan yang lengkap. Reviewing key
content adalah mengulas kembali inti materi pelajaran yang paling penting
untuk memastikan siswa memahaminya dengan baik. Providing a structure
adalah mengorganisasi fakta dan inti materi dalam bentuk konsep yang mudah
diingat. Misalnya dalam bentuk akronim, simbol-simbol, atau yang lainnya. Hal
ini sangat tergantung kreativitas guru.
E.
Menciptakan Iklim Kelas yang Efektif
Iklim kelas adalah suasana yang
terjadi dalam interaksi antara guru dan siswa. Iklim kelas yang terjadi dapat
dilihat dari sejauh mana guru memberi kesempatan berlatih, menunjukkan dorongan
dan perhatian, membangun kerjasama atau persaingan, serta memberikan kebebasan
berpendapat dan memilih. Ada dua aspek yang terkait dengan iklim kelas yang
efektif, yaitu social environment dan organizational environment
(Borich, 2000:346).
1. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial kelas dapat
berubah dari authoritarian dimana guru menjadi sumber utama informasi,
gagasan, dan pembelajaran, menuju iklim demokratis, sampai laissezfaire,
dimana siswa menjadi sumber utama informasi, gagasan, dan pembelajaran. Menurut
Borich ada tiga jenis iklim kelas, yaitu kompetitif, kooperatif, dan
individualistik (2000:348).
Iklim kompetitif terjadi jika siswa
diberi tugas untuk menyelesaikan tugas atau kuis dengan standar tertentu yang
ditentukan oleh guru. Guru berperan sebagai juri untuk menilai jawaban atau
kinerja siswa. Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan biasanya dalam bentuk drill
and practice.
Iklim kooperatif berupa suasana
dimana siswa terlibat dalam kegiatan dialog atau diskusi dengan diawasi oleh
guru. Guru secara sistematis dapat terlibat dalam diskusi untuk menciptakan
suasana yang kondusif dan terarah. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan dapat
berupa diskusi kelompok dengan menerapka model cooperative learning.
Iklim individualistik adalah iklim
dimana siswa mengerjakan tugas sendiri-sendiri dalam pengawasan guru. Siswa
fokus mengerjakan tugas tersebut dengan memberikan jawaban yang terbaik sesuai
dengan kemampuan dan pendapatnya. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan biasanya
dalam bentuk bekerja sendiri dengan tempat duduk yang terpisah dari yang lain.
2. Lingkungan Organisasional
Lingkungan organisasional merupakan
lingkungan kelas secara fisik. Lingkungan kelas terdiri dari lingkungan
eksternal dan internal. Lingkungan eksternal kelas berupa fasilitas dan
aksesoris ruangan yang ada di luar ruangan kelas yang biasanya disediakan oleh
pihak sekolah. Lingkungan internal kelas berupa fasilitas dan berbagai
kelengkapan lain yang ada di dalam ruangan kelas. Biasanya selain yang
disediakan oleh pihak sekolah, juga terdapat berbagai hiasan atau fitur-fitur
yang dibuat oleh siswa kelas tersebut. Lingkungan internal kelas sebaiknya
dimodifikasi secara dinamis agar menciptakan suasana segar dalam kelas. Dalam
hal ini peran wali kelas sangat diperlukan untuk mengelola lingkungan kelas,
agar kelas terasa nyaman untuk belajar.
Upaya yang perlu dilakukan untuk
menciptaka iklim kelas yang kondusif adalah dengan menciptakan hubungan
interpersonal yang positif di kelas, meningkatkan motivasi belajar siswa, dan
mengurangi perilaku disruptive. Masing-masing upaya tersebut dijelaskan
sebagai berikut:
1. Menciptakan hubungan
interpersonal yang positif di kelas
Hubungan interpersonal yang positif
di kelas terdiri dari hubungan positif antara guru dan siswa dan hubungan
positif teman sekelas. Hubungan interpersonal yang positif antara guru dengan
siswa merupakan faktor penting dalam menciptakan suasana pembelajaran di kelas
yang kondusif. Menurut Thomas Gordon, hubungan antara guru dengan siswa akan
baik manakala: 1) adanya keterbukaan; 2) adanya sikap saling menghargai; 3)
adanya saling kertergantungan; 4) tidak ada pemisah diantara mereka; dan 5)
saling membutuhkan pertemuan (Jones & Jones, 2001:83). Guru harus
menunjukkan bahwa dia mempunyai perhatian atau perduli kepada siswa. Guru dapat
menunjukkan keperdulian kepada siswa dengan cara: a) berusaha mengetahui
pribadi siswa; b) menjaga kualitas hubungan dengan siswa melalui
pernyataan-pertanyaan positif; c) menyediakan kesempatan untuk berdiskusi
dengan siswa; d) menunjukkan minat kita dalam kegiatan yang penting bagi mereka
(2001:89).
Hubungan positif antara teman
sekelas juga merupakan faktor yang sangat penting untuk mendukung terciptanya
iklim kelas yang baik. Hubungan positif antara teman sekelas dapat dibangun
melalui kegiatan bersama atau kegiatan kelompok. Pembelajaran kooperatif
menjadi alternatif untuk menciptakan hubungan yang positif antar siswa di kelas.
Jones & Jones mengemukakan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan, cooperative
learning sangat efektif membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan
bekerja dalam kelompok (2001:125). Keterampilan bekerja dalam kelompok sangat
dibutuhkan oleh siswa SMK untuk terjun di dunia kerja.
2. Meningkatkan motivasi belajar
siswa
Motivasi merupakan faktor yang
sangat penting bagi siswa untuk sukses dalam belajar. Menurut Jones &
Jones, motivasi merupakan fungsi dari harapan X nilai X suasana (2001:187).
Salah satu cara untuk membangun motivasi belajar siswa adalah dengan menerapkan
model motivasi John Keller yang disebut dengan ARCS (Attention, Relevance,
Confidence, Satisfaction).
Attentionmaksudnya bahwa guru harus dapat membangkitkan atau mencuri
perhatian siswa sehingga mereka tergugah dan fokus untuk mengikuti pelajaran.
Untuk menggugah perhatian siswa, pada awal pembelajaran guru harus menyajikan performance
yang menarik. Performance yang dimaksud dapat berupa penampilan pribadi
guru, penggunaan media yang unik, atau dengan pernyataan atau cerita yang
menggugah siswa.
Relevance artinya guru harus mampu mengkaitkan materi yang diajarkan
dengan kebutuhan siswa pada saat sekarang maupun di masa yang akan datang. Guru
harus meyakinkan bahwa materi pelajaran sangat penting bagi siswa terutama
untuk modal memasuki dunia kerja. Jika siswa tidak menguasai materi yang
dipelajari maka siswa akan mengalami kegagalan dalam bekerja.
Confidence berarti kepercayaan, maksudnya bahwa guru harus meyakinkan,
dapat dipercaya, dan mampu menumbuhkan rasa percaya diri siswa. Untuk membangun
rasa percaya diri siswa guru hendaknya memberikan umpan balik yang positif atas
prestasi atau kinerja mereka. Sekecil apapun partisipasi siswa, sejelek apapun
jawaban siswa atas pertanyaan yang diberikan, guru harus menghargai dan
memberikan apresiasi. Apresiasi dan penghargaan guru kepada siswa sangat
berarti untuk menumbuhkan rasa percaya diri siswa.
Satisfaction atau kepuasan maksudnya adalah bahwa motivasi siswa akan
tumbuh dengan baik jika siswa memiliki kepuasan dalam mengikuti pembelajaran.
Guru harus dapat membantu siswa agar memperoleh kepuasan dalam belajar. Salah
satu caranya adalah memberikan materi pelajaran sesuai dengan kebutuhan mereka.
Guru harus memahami kebutuhan siswa dan mengajari mereka sampai mereka
menguasai dengan baik. Keberhasilan siswa menguasai materi atau keterampilan
yang mereka butuhkan merupakan kepuasan bagi mereka. Dengan kepuasan tersebut
siswa akan merasa perlu untuk terus berlatih sampai mereka menguasai kompetensi
dengan baik.
3. Mengurangi perilaku disruptive
Perilaku disruptive adalah
perilaku siswa yang membuat suasana kelas menjadi kacau atau tidak kondusif.
Perilaku tersebut akan mengganggu berlangsungnya proses pembelajaran.
Pembelajaran di kelas yang sering disertai dengan perilaku disruptve akan
sulit mencapai tujuan secara efektif. Oleh karena itu, harus diusahakan agar
perilaku disruptive di kelas dapat dieliminasi. Cara yang dapat ditempuh
untuk mengurangi perilaku disruptive adalah:
1)
Menetapkan standar perilaku atau aturan kelas
Untuk menetapkan standar perilaku
atau aturan kelas hendaknya dilakukan dengan langkah-langkah: a) mendiskusikan
kriteria aturan atau standar perilaku; b) membuat daftar standar perilaku yang
diyakini penting; c) membuat komitmen; d) memantau dan mereview aturan kelas.
2)
Menetapkan prosedur kelas
Yang dimaksud dengan prosedur kelas
adalah tahapan kegiatan yang harus dilakukan oleh guru dan siswa di kelas.
Borich (2000:257) mengelompokkan empat jenis prosedur kegiatan yang dilakukan
guru yang efektif di sekolah menengah, yaitu: 1) beginning the class; 2)
whole-class activities; 3) procedures related to academic accountabilty; 4)
other activities (the end of the class period, interruption in the class).
Pada awal pembelajaran atau memulai
kelas terdapat beberapa prosedur yang perlu diatur antara lain: mengecek
kehadiran siswa (presensi), siswa yang terlambat, orientasi materi (apersepsi),
dan membagi materi. Selama kegiatan pembelajaran juga perlu diperhatikan
prosedur dalam hal: hubungan guru-siswa; gerakan siswa di kelas; tanda-tanda
untuk perhatian siswa; mengumpulkan tugas; pertanyaan siswa saat mengerjakan
tugas; kegiatan yang dilakukan setelah selesai mengerjakan tugas. Pada akhir
pembelajaran perlu diperhatikan hal-hal seperti: menata kembali peralatan dan
perlengkapan belajar; mengatur bahan untuk pertemuan berikutnya; dan
membubarkan kelas.
Pada intinya, untuk menciptakan
suasana kelas yang kondusif bagi berlangsungnya kegiatan pembelajaran
diperlukan kreativitas dan kesadaran guru untuk mengelolanya. Tentu saja bukan
hanya guru sebagai individu, tetapi guru dalam arti kelembagaan yaitu sekolah.
Sekolah bertanggung jawab untuk menata lingkungan sekolah sedangkan guru atau
wali kelas bertanggung jawab mengelola kelas masing-masing.
Khusus dalam pelaksanaan proses
pembelajaran, guru mata pelajaran harus berperan dalam menciptakan hubungan
interpersonal yang positif di kelas. Hubungan interpersonal yang positif yang
harus dikembangkan di kelas mencakup hubungan guru dengan siswa dan siswa
dengan siswa lainnya. Selain itu, guru juga harus mampu membangun
motivasi siswa agar siswa memiliki kesadaran dan kemandirian dalam belajar.
Keberhasilan belajar siswa sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya motivasi
belajar mereka. Tinggi rendahnya motivasi belajar siswa salah satunya
tergantung pada kemampuan guru memotivasi siswa. Yang terakhir, guru juga harus
dapat mengendalikan perilaku siswa di kelas. Jangan sampai proses pembelajaran
tidak berjalan secara efektif dikarenakan banyaknya perilaku disruptive
yang dilakukan oleh siswa. Muncul atau tidanya perilaku disruptive
sangat tergantung kepada kemampuan guru dalam mengelola kelas secara efektif.